Senin, 29 November 2010

Mazhab Ahlul Bayt, adalah Mazhab Imam Maksum

Disini, sah-sah sah saja jika ada sebagian kaum muslim yang tidak bisa menerima salah satu atau ke-4 keseluruhan dari mereka, yang diyakini sebagai imam-nya. 

Jadi wajarlah jika sebagian kaum muslim ada yang tidak yakin bahwa empat orang Imam ini, dalam segala hal apapun bisa “melebihi” dari keluarga suci (Ahl al-Bayt) Nabi Muhammad SAWW.

Dengan meyakini 4 orang imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Hanbali dan Imam Syafi’i) itu lebih baik dari keluarga suci “Ahlul Bayt” Nabi Muhammad SAWW.? Sebagai bahtera keselamatan dan pintu gerbang syafa’at, yang melalui mereka pula kita dapat menjaga diri dari segala perselisihan dalam permasalahan-permasalahan keagamaan, apakah mungkin?

Jawabannya, adalah jelas tidak akan mungkin! Karena bertentangan dengan dalil Al-Qur’an dan Sunnah (hadist-hadist) muttawatir dari Rasululllah Muhammad SAWW.

“Ahl al-Bayt”  adalah simbol Imam pemberi petunjuk hidayah, pemimpin-pemimpin yang jujur dan adil dalam membimbing ummat Islam menuju jalan yang lurus —jalan yang penuh keselamatan dunia dan akherat. Oleh karena itu mereka harus benar-benar terjaga dan terjamin dari segala dosa-dosa dan kotoran-kotoran hawa nafsu rendah duniawi.

Dan jaminan itu harus datang dari Allah SWT. Dia-lah al-Haqq (Yang Maha Benar) dan al-Qur’an  firman Allah adalah Haqq (benar), karena semua yang datang dari Allah “Yang Maha Benar” pasti Benar adanya.

Di sini Al-Qur’an dengan jelas menyebutkan jaminan itu sebagaimana ayat berikut: 

“Sesungguhnya Allah berkehendak menjaga kamu dari dosa-dosa hai Ahlul Bayt (laki-laki) dan men-suci-kan kamu (laki-laki) dengan se-suci-suci-nya". (QS. Al-Ahzab, 33: 33).

Jika kita renungkan dari ayat tersebut, jelas sekali disampaikan bahwa Ahl al-Bayt Nabi adalah orang yang “maksum” (red. terjaga dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan).

Sesuai asbabun nuzul ayat ini, Syiah beranggapan ayat ini diturunkan kepada 5 oramg, yakni Rasulullah SAWW, Ali sa, Fatimah sa, Hasan sa, dan Husyain sa. sebagaimana diantaranya diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah dan Ummu Salamah dalam Sahih Muslim dan laiin-lainnya yang insya Allah akan dibahas lebih lanjut pada kategori lain, keutamaan Ahlul Bayt, menurut Al-Qur'an dan Al Hadist.

Ke-Imamah-an atau Imam, pengertiannya tidaklah sama dengan Ke-Nabi-an (Nubuwat). Seperti pengertian bahwa Nabi belum tentu Rasul. Tapi Rasul pasti Nabi. Semua Nabi dan Rasul, belum tentu Imam. Demikian pula sebaliknya, tidak semua Imam, pasti Nabi atau pasti Rasul.

Tetapi di dalam sosok pribadi agung Nabi Suci Muhammad SAWW., sebaik-baiknya makhluk yang Allah ciptakan,  terkumpul 3 (tiga) wilayah Ke-Nabi-an, Ke-Rasul-an, dan Ke-Imamah-an. Syiah beranggapan, bahwa Muhammad SAWW adalah Nabi Allah, Rasul Allah dan Imam Allah (red. Imamah ar-Rahmat).

Dan dari ayat tersebut pula dijelaskan bahwa yang berkehendak disini memberikan anugerah derajat ke-“maksum”-an kepada Ahl al-Bayt  Nabi adalah Allah SWT. sendiri yang Maha Berkehendak.
Syiah beranggapan, ke-“maksum”-an  ('ismah), hanya diberikan kepada ahl al bayt yang laki-laki, yakni, Rasulullah SAWW, Ali sa, Hasan sa, dan Husyain sa. Sedangkan tidak mengurangi rasa hormat dan kedudukannya di sisi Rasulullah, ahl al bayt yang perempuan (nisa'),  Fatimah az-Zahra sa, ibunda para imam, tidak mendapatkan jaminan ke-“maksum”-an ('ismah) dari Allah, karena ayat Al-Qur'an (Al Ahzab, 33:33) dengan jelas tegas membatasi dengan kalimat negasi "Innama", dan setelah itu merubah kata ganti "ankunna" (kemu perempuan) dengan "ankum" (kamu laki-laki) dalam kesatuan ayat-33 pada khususnya dan dalam hubungannya dengan ayat-ayat sebelumnya pada umumnya. Tetapi, beliau bunda Fatimah az-Zahra, adalah Ahl al Bayt Nabi, meskipun tidak menadapatkan anugerah 'ismah.

Terlebih lagi harus dicamnkan di sini, hal ini bukanlah merupakan kehendak, kemauan atau keinginan “ego” Rasulullah itu sendiri, sebagaimana ke-hendak-nya (red. penuh ke-ego-an) Nabi Musa as. ketika di lembah suci Thuwa yang memohon ingin melihat penampakan Allah SWT.

Lalu, bukankah jika Allah SWT sebagai Yang Maha Berkehendak sudah berkendak, Siapakah yang akan mampu menahan kehendak-Nya dari zat Yang Maha Berkehendak? Kalau sudah begini, dalil argumentasi pemikiran macam apalagi yang bisa diketengahkan?